KETIKA IKAN (baca: JIL) MASUK AQUARIUM

Beberapa bulan yang lalu, ketika masalah pro-kontra RUU APP sedang hangat-hangatnya jadi pembicaraan, banyak lembaga mencoba mengangkatnya melalui diskusi atau seminar-seminar, salah satunya BEM FISIP UNAIR yang waktu itu sedang rajin-rajinnya bekerja sama dengan organisasi /lembaga dari kelompok islam liberal untuk mengadakan diskusi-diskusi publik. Termasuk diskusi mengenai RUU APP, yang saat berlangsungnya acara telah dirubah menjadi RUU PP, tanpa A.
Kebetulan saat itu saya sedang tidak ada kuliah, seorang ikhwan, teman sekampus saya ‘memprovokasi’ saya untuk menghadiri acara tersebut, karena biasanya saya paling malas mengikuti diskusi-diskusi anak-anak JIL. Akhirnya, saya datang juga. Namun saya lumayan kecewa, ternyata pembicaranya tak sehebat yang saya bayangkan. Kapasitas keilmuannya minim, dan ‘ngelesnya’ (kebiasaan anak2 JIL) atau hujjah-hujjahnya mudah sekali terbantahkan, meskipun lulusan timur tengah juga. Alhamdulillah, peserta yang datang pada diskusi tersebut banyak dari teman-teman HTI dan PKS, sekalipun diskusinya menjadi panas dan menarik, akan tetapi, tetap kurang memuaskan, karena ya itu tadi, kapasitas pembicara, serta terkesan hanya sepihak karena semua pembicara dari kelompok yang kontra pada RUU PP.

Orang-orang Kampung

Tentang JIL, saya jadi teringat analogi ES. Soepriyadi tentang ikan yang masuk aquarium dalam bukunya “Refleksi Seorang Da’i”. Pada sebuah judul di buku tersebut Soepriyadi menceritakan tentang penduduk kampungnya yang di awal tahun 90-an banyak merantau ke Malaysia. Karena dari desa terpencil, mereka memiliki pengetahuan yang minim, diantaranya ada yang tidak bisa baca-tulis, tidak bisa berbahasa indonesia, bahkan tidak pernah pergi ke kota.Beberapa tahun kemudian, ketika pulang, mereka benar-benar berubah. Mulai dari penampilan hingga gaya bicara. Yang dulunya sama sekali tidak mengerti bahasa indonesia, kini dalam pembicaraannya sering keluar idiom melayu. Yang dulunya sama sekali tidak pernah pergi ke kota, kini penampilannya metropolis abis, hingga kadang terkesan wagu (tidak pantas). Lebih mengherankan lagi adalah kebanggaan mereka terhadap Malaysia yang berlebihan. Malaysia yang indah, maju, makmur, dan dereten kalimat pujian lainnya selalu mewarnai pembicaraan seputar Malaysia. Lalu memperbandingkan dengan Indonesia yang menurut mereka “tidak ada apa-apanya”.
Kemudian Soepriyadi menceritakan, di tahun 92, ia berkesempatan menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Malaysia. Menurutnya, ia yang tidak pernah tinggal di kampung secara serius karena sejak tamat SD sudah keluar dari kampung, dan sebelumnya pernah beberapa saat tinggal di Jakarta, mendapatkan kesan teramat sangat biasa begitu pesawat mendarat di Subang Airport, Kuala Lumpur. Tidak ada yang istimewa baginya. Ia bahkan menangkap kesan bahwa Malaysia sangat bersahaja. Ini ditahun 90-an sebelum ada menara petronas, sirkuit Formula 1 Sepang, KLIA Sepang, Putra Jaya atau Cyber City. Akhirnya ia  berkesimpulan, bahwa kesan yang ditangkap orang-orang kampungnya hanyalah bentuk peribahasa “bagaikan katak dalam tempurung”. Mungkin sebelumnya, orang-orang kampung tersebut belum pernah melihat Istiqlal, sehingga sangat bangga dengan masjid negara Kuala Lumpur, atau masjid Syah Alam, mungkin saja belum pernah masuk Sarinah atau Plaza Indonesia sehingga sangat mengagumi Pertama Compleks dan Sentral Market, mungkin juga belum pernah ke Pasar Senen hingga terkesima dengan Chowkit, boleh jadi belum pernah pula menikmati keindahan Puncak hingga takjub dengan Genting Highland (sama, saya juga…hehehe).

Thaha Husein dan JIL

Kisah orang-orang kampung tadi seperti yang dialami Thaha Husein, ikon penghujat Islam dari Mesir yang berkesempatan studi ke Perancis. Thaha Husein lahir dan dibesarkan di sebuah desa yang teramat terpencil, dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan. Namun karena otaknya encer, meskipun buta, ia berkesempatan studi ke Perancis. Saat hendak berangkat, dengan naik keledai ia diantar oleh hampir seluruh penduduk kampungnya. Beberapa tahun kemudian, ketika pulang ke Mesir ia benar-benar menjadi manusia yang berubah dalam segala hal, termasuk masalah akidah. Seperti pernyataannya bahwa Al Quran adalah syair jahiliyah, dansa adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan kemajuan hanya bisa diperoleh dengan melepaskan baju agama. Hmm…
Saya pikir-pikir apa bedanya dengan yang dialami oleh para pencetus dan pemikir JIL di negri kita ini. Sebut Nurcholis Madjid, Ulil Abshor, Nong Darol, Musydah Mulia dan lainnya. Coba perhatikan, kebanyakan mereka berlatar belakang NU atau dari lingkungan santri tradisional di desa-desa, yang berpaham patriarki sekali dan memuja kyai. Bersarung, bersandal jepit, berpeci dan kemana-mana menenteng kitab kuning. Sebelumnya mereka  mengenal Islam dengan pemahaman yang salah dan kolot, kemudian berkesempatan sekolah di tempat yang lebih modern, LIPIA misalnya, atau Al Azhar bahkan disekolahkan (sama siapa ya??) ke Amerika. Bertemu dengan pemikiran-pemikiran baru dari barat yang mereka anggap lebih maju, hingga mereka menyadari kekolotannya selama ini. Pada akhirnya mereka merekonstruksi ulang pemahaman mereka dengan berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari barat. Memahami dan mempelajari islam bukan dari ahlinya, tapi dari para orientalis barat …hahaha…aneh ya!
Seperti orang-orang kampung dan Thaha Husein tadi. Thaha Husein, di kampungnya tidak pernah naik mobil, karena memang tidak ada. Tidak pernah melihat banguan tinggi, juga jalanan yang tersusun rapi, hingga kemudian berkesimpulan bahwa Perancis lebih maju daripada Mesir. Sebagai orang yang ‘terpelajar’, ia mencoba menganalisa dan mencari penyebab kemajuan tersebut. Mulai hanya sekedar bergaul dengan masyarakat Perancis, lalu mempelajari semua sistem dan pemikiran yang berkembang di negara tersebut. Hingga ia berkesimpulan peradaban Barat harus diadopsi secara utuh, karena lebih baik dari apa yang dimiliki Islam. Mirip kan dengan JIL?

Thaha Husein  + JIL = Orang-orang Kampung

Kesimpulan-kesimpulan yang dibuat baik dari orang-orang kampung, Thaha Husein, juga JIL, masing-masing mirip satu sama lain. Semuanya, hanyalah bias dari ketidaktahuan. Jika orang-orang kampung tidak pernah melihat kota besar, maka Thaha Husein dan para pencetus JIL tidak tahu atau tidak memahami seluruh ajaran dan berbagai nilai yang ada dalam Islam. Thaha Husein memang hafal Al Quran, orang-orang JIL (mungkin) juga banyak yang hafal Al Quran, tapi sayangnya itu bukan jaminan kalau mereka memahami seluruh isi Al Quran. Karenanya, ketika mereka menemukan pemikiran baru yang dengan mudah mereka pahami dan kuasai, mereka kagum, kemudian berkesimpulan bahwa konsep yang baru saja diketahui jauh lebih baik daripada konsep yang ada dalam Al Quran.
Bahasa arabnya (JIL) saja tidak cukup baik, tapi sudah sombong, berani mentafsirkan Quran.

Orang-Orang Kampung + Thaha Husein + JIL = IKAN

Seperti itulah yang diistilahkan oleh Soepriyadi “bagaikan ikan masuk aquarium”. Ketika hidup di samudera nan luas, ia tidak bisa memahami secara utuh keindahan dasar laut yang susah dilukiskan, namun ketika masuk aquarium kecil, ia sangat terkesima. Terumbu karang, tumbuhan-tumbuhan kecil, gelembung udara, dan berbagai pernik lain juga pencahayaan yang artistik, menambah aquarium semakin tampak indah.
Sungguh pun demikian, seindah dan seluas apapun sebuah aquarium, ia tetap aquarium yang membatasi ikan di dalamnya. Karena itu, andai seekor ikan-yang pada awalnya terkesima dengan aquarium-menetap didalamnya, maka ia pun akan bosan dan merindukan habitat aslinya. Akan tetapi, masalahnya akan lain bagi ikan yang hanya tinggal sementara, atau sekedar pernah melihat aquarium kemudian kembali ke habitat aslinya. Ia akan bercerita kepada siapa saja tentang indahnya aquarium, lalu berusaha menciptakan aquarium bagi komunitasnya. Fenomena seperti inilah yang saat ini sering kita temukan dalam masyarakat. Ufh…
Tak heran bila Rasulullah dulu pernah melarang seorang shahabat membaca lembaran-lembaran taurat sebelum ia cukup memahami al quran dan aqidah Islam. Namun, apa yang kita lakukan kini jauh dari apa yang dilakukan shahabat tersebut, bahkan dengan kualitas keimanan serta pemahaman jauh di bawah shahabat itu pula kita justru asyik dengan berbagai pemikiran di luar Islam, yang banyak diantaranya menyesatkan. Wajar bila kemudian yang kita dapatkan BUKAN KEMAJUAN MELAINKAN KESESATAN. Allahu a’lam.

“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan pernah tersesat. Dua perkara itu adalah AL QURAN dan AS SUNNAH.” (HR. Bukhari Muslim)

Pahamilah ISLAM secara syamiil dan kaffah….!
( Si Ghuraba) Jogja, 30 Oktober 2006

Pernah  dipublish di sini

Satu pemikiran pada “KETIKA IKAN (baca: JIL) MASUK AQUARIUM

Tinggalkan komentar