Sukses dan Gagal…


Kebanyakan orang, secara wajar, memiliki standar-standar kesuksesannya sendiri. Sebagian orang bersekolah tinggi hingga mendapatkan pekerjaan yang layak. Menunjukkan loyalitas kerja hingga mendapatkan kedudukan, dan mempertahankan integritas profesional, sehingga menjadi asset unggul bagi institusi tempat kerjanya.

Yang lainnya lagi, bersekolah secukupnya, bekerja untuk mendapatkan modal, membuka usaha kecil-kecilan, memperluas jaringan, sehingga mendapatkan keuntungan yang dapat diputar kembali untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, bahkan bermanfaat bagi social-ekonomi rakyat.

Adapula yang memilih mempersiapkan diri untuk menikah, memiliki anak, membesarkan anak, dan turut andil dalam membentuk generasi masa depan yang berkualitas, sambil memastikan terjaminnya masa tua-nya sendiri.

Setiap orang bebas bercita-cita dan menentukan keinginannya.

Saya teringat ketika seorang teman sekampus yang juga satu rumah dulu berkata, “apa sih sebenarnya tujuan orang sekolah dan kuliah tinggi-tinggi, selain untuk memperbaiki atau mendapatkan status social yang lebih baik dalam masyarakatnya.” Ia mengucapkan ini selepas hari wisudanya, dan tengah sibuk mempersiapkan kuliah S2-nya.

Teman saya yang lain, masih satu rumah juga (kala itu), memilih tidak memanfaatkan ijazahnya untuk melamar berbagai tawaran dan lowongan pekerjaan meski IPKnya jauh diatas rata-rata. Tak lama kemudian, saya diundang datang ke akad nikahnya di sebuah kota di Jawa Timur. Setelah menikah, ia memilih berjualan es kecil-kecilan, sekedar mengisi waktu dan membantu perekonomian keluarga.

Setelah pulang ke kampung halaman, saya bertemu beberapa kawan lama, yang setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya, sengaja bertahan tinggal di daerah, menikah dengan orang sedaerah, dan mencari maisyah secukupnya, sekedar memenuhi kebutuhan keluarga yang ia bangun dengan cukup sederhana. Bukan tanpa tujuan, melainkan karena ia memikirkan berlangsungnya da’wah di kampungnya.

Saat diwawancarai media, seorang finalis ajang kompetesi nyanyi di sebuah TV swasta berkata, jika selama ini cita-citanya adalah menjadi penyanyi terkenal dan professional, dan ia merasa impiannya kini telah tercapai.

Setiap orang bebas bermimpi, bercita-cita, menentukan keinginan sekaligus standar kesuksesan mereka sendiri. Satu dengan yang lain, tidak bisa dengan mudah menilai, ‘kamu orang gagal, kamu orang sukses’. Karena mereka mempunyai ukurannya tersendiri.

Akan tetapi, telah menjadi fitrah pula ketika manusia cenderung menjadikan harta, jabatan, status social, kecerdasan, hingga popularitas, sebagai ukuran-ukuran kesuksesan. Seringkali mereka terlalu tergantung kepada ukuran-ukuran sukses yang diberikan masyarakat, dan kurang nyali untuk menentukan standar kesuksesan untuk dirinya sendiri.

Beberapa yang tak mampu mencapai standar kesuksesan minimal, merasa dirinya gagal, dan sebagian menyiksa diri karena merasa menjadi orang yang paling menderita sedunia. Belum lama ini, di Ponorogo, ada seorang pria paruh baya yang berkali-kali melakukan upaya bunuh diri akibat tidak lolos dalam pencalonan bupati di daerahnya. Di sebuah kampus negeri di Surabaya, pernah ada seorang mahasiswa yang bunuh diri akibat cintanya di tolak sang pujaan hati. Kasus yang sama, di kampus negeri yang berbeda, tetap di Surabaya, mengakibatkan seorang mahasiswanya harus dirawat di bagian kejiwaan RS Dr. Soetomo. Di Jogja, pernah ada seorang pelajar SMA yang mengalami depresi berat, akibat tidak lulus ujian nasional. Padahal, dia seringkali menjadi juara umum di sekolahnya.

Ada teman akhwat, yang mendadak merubah penampilan dengan mengecilkan kerudungnya, dan mengganti roknya dengan celana jeans, setelah skripsi yang dengan susah payah dikerjakannya dan ditargetkan mendapatkan nilai maksimal, A, juga diharapkan dapat semakin memuluskan cita-citanya untuk menjadi dosen, rupanya mendapat hasil jauh dari yang diharapkan. Ia mengaku telah berikhtiyar juga berdoa, dan ia tidak mampu menerima, kenapa doanya tak terkabul.

Apa sebenarnya yang mereka cari. Apa sebenarnya yang mereka tuju. Setiap orang berhak sukses. Setiap orang bisa gagal. Namun orientasi hidup mempengaruhi penentuan standar kesuksesan. Sedangkan kehidupan tidak kekal. Semua akan ada akhir. Lalu dimanakah akhir dari setiap upaya? Dimanakah semua ini bermuara. Kepada siapakah semua kembali?

Standar kesuksesan akan lebih baik jika ditentukan berdasarkan muara dari hidup ini. Bukan hal yang tak pasti, bukan kesia-sian, bukan pula ke-sementara-an.

Semua tak akan menjadi masalah jika kita masih berada dalam keridlaanNya. Dengan harta banyak atau sedikit, dengan jabatan tinggi atau rendah, dengan status bangsawan atau rakyat jelata, dengan tingkat pendidikan tinggi atau rendah, dengan menjadi orang populer atau biasa saja.

Setiap orang wajib berusaha. Namun kegagalan bukan salah tuhannya. Jika yang diupayakan adalah untuk tuhannya. Maka, tiada yang sia-sia meski gagal sekalipun.

Sebaliknya, semua akan jadi masalah jika ridla tuhannya tidak lagi ia dapat. Kesia-sian, penderitaan, kerugian, meski ia tampak sukses luar biasa di mata dunia.

Sukses dan gagal. Dengan mata manakah kita perlu menilainya?

Tinggalkan komentar