Ketika Hidayah itu datang…

Jangan sedikitpun biarkan ia pergi….

hdyhMeski jarang, namun berandai-andai meninggalkan ‘jalan’ yang saya lalui saat ini pernah sesekali saya lakukan. Melihat banyaknya teman yang juga telah memisahkan diri dan berguguran pada jalan yang pernah kami tempuhi bersama-sama, lengkap dengan suka dan dukanya. Ketika beban terasa semakin berat saja, lalu tak cukup sesekali keistiqomahan diuji. Namun, ketika malam tiba, sambil mendengarkan murottal, atau nasyid-nasyid kenangan di masa awal hijrah dulu, lalu membacai lagi buku atau tulisan pembangkit semangat, qur’an, buku ‘berpengaruh’ atau diari dan catatan-catatan liqa’ bahkan syura’, seringkali membuat saya kembali mengenangi masa-masa indah dimana saya mulai berkenalan dengan ‘dunia’ ini. Saat itu terjadi, maka demi Allah indahnya hidayah itu tidak sesekali hendak saya campakkan. Azzam yang pernah tertanam, tidak sesekali hendak saya runtuhkan.

Hidayah Allah, wallahi, nikmat terindah dan tak jua terbeli…

11 tahun yang lalu (1997), saya sempat mengawali masa puber saya dengan bersentuhan dengan kehidupan hedonis dan materialistis. Pengaruh lingkungan dan pergaulan sempat menjauhkan saya dari nilai-nilai islam yang pernah ditanamkan orangtua dan keluarga pada diri saya. Kepribadian sebagai seorang muslim(ah) pun mengabur, berganti dengan nilai-nilai yang sengaja ditanamkan oleh kaum kuffar lewat MTV, Music, Film, Majalah 2‘Gaul’nya, Trend, Mode, Zodiak, dan lainnya…

Beruntung keluarga masih dapat menjadi satpam yang mengontrol kebablasan yang saya lakukan. Sehingga, nasihat-nasihat, kasih sayang, perhatian, dan juga doa mereka menahan saya untuk melangkah lebih jauh.

Suhu perpolitikan yang memanas di tahun reformasi, diiringi bermunculannya berbagai gerakan secara terang-terangan (termasuk Partai Keadilan, dan gerakan islam lainnya), turut serta membangkitkan ghirah saya sebagai seorang remaja/pemuda (baca: muslim). Saat kabar berjuta muslim menjadi korban ketidakadilan, kesewenangan, dan kedzaliman, di berbagai penjuru dunia, dan sebagiannya di negri sendiri, menggugah betul-betul keimanan dan semangat persaudaraan. Hingga teringat betul saat pertama kali membeli majalah Sabili saat kelas 2 SMP. Majalah islam pertama yang saya beli dan baca setelah beberapa tahun sebelumnya meninggalkan majalah Islam anak-anak saya “Taman Melati” seiring datangnya keremajaan. Dengan demikian, Sabili datang menyela asyiknya menjadi penikmat Aneka, Kawanku, Gadis, dan sebangsanya. Semua di dorong oleh rasa keingintahuan akan kondisi ummat, setelah sebelumnya setiap kabar yang terdengar begitu menyentil hati untuk mengetahui lebih banyak.

Kelas 3 SMP, di tahun ke 14 hidup saya, selain menikmati hidup penuh kebebasan, saya pun disibukkan dengan segala tetek bengek persiapan Ujian Kelulusan. Saya termasuk murid dengan motivasi tinggi untuk lulus dengan nilai sebaik mungkin. Selain belajar, memperbanyak ibadah dan do’a pun saya lakukan. Saya tertohok betul, ketika mbak saya kemudian menyindir, “buat apa setiap malam bangun dan meminta padaNya, sedang paginya kembali berma’shiyat padaNya, bagaimana doa bisa dikabulkan?” Entah mengapa, tiba-tiba terasa betul diri begitu kotor, hina, penuh dosa. Setiap hendak berbuat kemungkaran, terasa betul ketika itu sedang berada dibawah ‘pengawasan’. Tersadar, bahwa selama ini rupanya hanya Dosa demi Dosa yang saya kumpulkan.

Ramadlan pun tiba. Waktu itu di malam ke 28 dan 29, di sebuah ramadlan indah di tahun 1999, Allah mengantarkan kaki ini bersimpuh dan bersujud di masjidNya, i’tikaf. Di dua malam itu, semuanya tertumpah. Pengakuan, permohonan ampun, permohonan petunjuk dan setiap do’a terpanjatkan. Tangis yang tiada terhenti. Rasa malu, sesal, takut, berkecamuk dalam diri. Terasa diri begitu kecil, dan tiada berarti. Kepala yang terasa berat untuk diangkat dari sujud. Beban dosa sepertinya telah demikian berat untuk dipikul. Tiada kata terucap selain ‘ampun…ampun…ampun…’. dan sejak malam itulah azzam ditanamkan. Jalan dipilih. Revolusi dimulai.

Kehidupan baru dimulai. Setelah itu yang terjadi adalah proses dan proses. Sebuah proses menuju kebaikan dan perbaikan diri. “Allah perbaikilah akhlaqku…” selalu melucur penuh harap dari bibir setiap saja melakukan kesalahan. Jatuh bangun membangun diri. Menghadapi cercaan dan cemoohan orang-orang yang tidak ingin seseorang betul-betul menjalankan keimanannya. Rasa gengsi dan pengaruh pergaulan menjadi bagian dari ujiannya.

Bahkan melihat seorang akhwat berjilbab lebar di suatu pagi dalam perjalanan menuju sekolah, mampu membuat hati saya demikian mengharu biru lalu menangis, “Allah jika ia bisa, mengapa aku tidak…”

Saya selalu berharap, agar selalu mendapat kemudahan untuk memperbaiki diri. Setelah lulus SMP, berharap mendapat sekolah dengan bi’ah shalihah yang memudahkan diri peroleh hidayah, dan tentu saja keberkahan dan keridlaanNya.

Segala puji bagi Allah, kemudahan demi kemudahan saya peroleh di lingkungan sekolah yang baru. Komunitas shalih menjadi tempat bergaul, bersahabat, bersaudara, berbagi, mencari ilmu, dan mencari jati diri. Proses itu terus berjalan. Diri yang baru benar-benar dilahirkan. Di awal SMA saya kenal tarbiyah, saya kenal da’wah, saya dalami islam terus dan terus…

Komunitas shalih mengantarkan pada setiap amal, semangat, dan perjuangan.

Indah dan indah…

Namun Da’wah adalah penderitaan. Tak akan ada kesenangan bagi para pecinta dunia. Karena da’wah dan jihad adalah perniagaan dengan Allah ta’ala, dan balasannya adalah surga yang tiada tertandingi kenikmatannya.

Lalu hendakkah kaki meninggalkannya, setelah setiap perjuangan demi perjuangan telah begitu letih dilakukan untuk meraihnya? Keindahan dan setiap kebahagiaan dari kenikmatan yang pernah dikurniakan. Bukankah ia begitu berharga dan teramat berharga… yang tiada setiap orang beroleh keberuntungannya?

Maka tiada pilihan selain bangkit… bangkit… dan bangkit…

Istiqomah…istiqomah…istiqomah… Ia sulit tapi harus. Karena kufur setelah beriman sungguh kerugian yang sedemikian besar.

Janganlah berhenti wahai jiwa. Tiada kata istirahat bagi mujahid. Biarlah setiap peluh, rasa letih, dan keringat darah, terbayar oleh kenikmatan surga. Disanalah tempat kembali bagi jiwa pemenang. Disanalah tempat istirahat bagi para mujahid/ah sejati.

2 pemikiran pada “Ketika Hidayah itu datang…

  1. Assalamualaikum ukhti..
    Salam kenal, senang membaca tulisan anti, serasa jiwa menemukan sahabat yang sangat dikenalnya (di antara jiwa-jiwa yang semakin asing) walau raga belum pernah bertemu.. Semoga anti selalu dalam penjagaan Allah SWT. Barakallahu laki…

Tinggalkan komentar