“Insya Allah…”

komSeringkali kita bisa menilai kepribadian atau intelektualitas seseorang dari kemampuan atau kebiasaan mereka memilih kata ketika berbicara. Sehingga kendala dalam berkomunikasi acap kali ditemui pada dua orang dengan intelektualitas, kecerdasan, wawasan, tingkat pendidikan, atau latar belakang berbeda, meski keduanya menggunakan bahasa yang sama. Dan jika ini terjadi, muncullah konflik, kerenggangan hubungan karena kesalahpahaman. Karenanya, kemampuan berkomunikasi dan saling memahami menjadi penting dalam hubungan interpersonal. Barangkali ini salah satu alasan kenapa dalam mencari pasangan hidup dianjurkan yang ‘sekufu’.

Saya akui sebelum ini, kecenderungan saya memang lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman dalam komunitas-komunitas keislaman, bekerja dalam organisasi-organisasi islam, kegiatan-kegiatan da’wah, berkumpul untuk ‘ngaji’ ilmu agama, membaca buku-buku keislaman, dll. Sehingga, wawasan, pengetahuan, pemahaman, kepribadian saya lebih banyak terpengaruh dari lingkungan komunitas saya. Dan hal itu akan dengan mudah tercermin dari perilaku juga pilihan kata yang saya gunakan dalam berkomunikasi.

Kali ini, dalam dunia pasca kampus (baca:profesi) saya dihadapkan pada kehidupan dan komunitas yang lebih luas. Dimana kemampuan adaptasi, sosial, komunikasi, dan seperangkat kemampuan lainnya harus saya kembangkan. Dan kemarin, konflik pertama muncul dari sebuah pilihan kata yang saya ucapkan kepada teman kerja saya (yang posisinya di atas saya).

Bagi saya, atau anda, yang paling tidak sedikit banyak belajar agama, barangkali tidak akan asing dengan ucapan “insyaAllah”, dan sebagaimana yang saya pahami dari ilmu yang saya peroleh, bahwa ucapan ini berarti “jika Allah menghendaki” , bahkan Allah mewajibkan ucapan ini diucapkan setiap kita mengucapkan janji. Karena pada prinsipnya tak ada satu hal, sekecil atau sebesar apapun itu, yang terjadi tanpa kehendak Allah. Tidak ada yang sifatnya pasti di masa depan bagi kita, karena takdir itu rahasia Allah, sekalipun keyakinan kita 100% terhadap kejadian yang kita prediksikan.

Karena saya memahami demikian, maka saya selalu memilih kata “insyaAllah” untuk setiap hal yang belum terjadi, terutama ketika berjanji atau untuk setiap rencana-rencana yang akan saya lakukan.

Namun rupanya, tidak demikian pemahaman teman saya itu. Meskipun dia muslimah juga, berkerudung, bahkan pernah ‘mondok’ (sekolah di sebuah pondok pesantren di Jatim) dulunya, dia terlanjur menginterpretasikan ucapan insyaAllah untuk setiap hal yang masih abu-abu, tidak yakin, tidak pasti, ‘bisa ya, bisa tidak, kita lihat saja nanti…’. Barangkali dia terlupa bahwa semua kejadian yang belum terjadi memang tidak ada yang pasti. Karenanya ketika dia meminta saya untuk melakukan sesuatu, lalu saya menjawab “ya mbak insyaAllah nanti saya kerjakan…”, jawabannya “ya jangan insyaAllah cha, kamu haruskerjakan’ itu…” dengan intonasi tinggi (baca:marah). He… terang saja ini terdengar lucu bagi saya, bagi saya ucapan ‘insyaAllah’ yang saya ucapkan berarti “pasti saya kerjakan, namun semua kembali pada Allah sebagai penguasa takdir”, namun saya memahami, pemahaman kami berbeda, juga interpretasi kami terhadap ucapan tersebut…

Saya teringat di salah satu ceramahnya Ustadz Dudi pernah bercerita, “dulu, prakiraan cuaca dari BMG itu istilahnya bukan prakiraan cuaca, tapi ramalan cuaca, namun karena setiap ramalan seringkali meleset, apalagi kata ramalan kesannya juga tidak ilmiah, maka kata ramalan diganti menjadi perkiraan, yakni perkiraan cuaca. Namun, kata ini juga dirasa kurang pas, karena setiap perkiraan sering meleset juga, kerananya sekarang diganti menjadi pra kiraan cuaca. Sehingga kalo meleset, yaa… kan namanya juga baru pra kiraan…”

3 pemikiran pada ““Insya Allah…”

  1. ini yang disebut dengan falasia bahasa…
    dimana ada pemaknaan ganda terhadap pesan yang disampaikan…
    seringkali ini terjadi karena ada pergeseran makna dari pemaknaan seharusnya…

    seperti kata insyallah, memang seharusnya dipahami seperti apa yang disampaikan di atas. tapi seringkali kata insyallah disalahgunakan sebagai bentuk penolakan halus untuk melakukan sebuah tindakan yang direncanakan. banyak orang lebih suka mengatakan insyallah ketimbang mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak ingin dilakukan.

    hal ini mungkin yang sering dialami oleh teman anda sehingga akhirnya dia menolak jawaban insyallah. anda tidak salah, karena memang demikian seharusnya kata insyallah dimaknai. teman anda juga tidak salah, karena dia seringkali jadi korban penyalahgunaan kata insyallah.

Tinggalkan komentar